KARAKTERISTIK ILMU PENDIDIKAN ISLAM ABAD PERTENGAHAN
Pendidikan Abad Pertengahan adalah pendidikan yang dilaksanakan dalam periode abad pertengahan. Kandungan pemikiran Islam bercirikan mempelajari hadits dan membangun sistem-sistem theology dan hukum mereka sendiri di seputarnya, menarik murid-murid dari daerah yang jauh yang mau menimba ilmu pengetahuan dari mereka. Karena itu, ciri utama pertama dari ilmu pengetahuan tersebut adalah pentingnya individu guru. Sang guru, setelah memberikan pelajarannya seluruhnya, secara pribadi memberikan suatu sertifikat (ijazah) kepada muridnya yang kemudian diizinkan untuk mengajar. Banyakilmuwan yang termasyhur bukanlah produk madrasah-madrasah, tetapi adalah bekas-bekas murid informal dari guru-guru individual. Berkaitan erat dengan pentingnya guru secara sentral ini adalah fenomena yang dikenal sebagai ‘mencari ilmu’ (tholabul ‘ilm).
Sistem madrasah, yang secara luas didasarkan pada sponsor dan kontrol negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemunduran dan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebenarnya dari kemunduran ini, walaupun, tentu saja, ia mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Tetapi sebab sebenarnya dari penurunan kualitas ilmu pengetahuan Islam adalah kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang juga kemudian mati. Dari penentangan mereka yang berhasil terhadap kaum mu’tazillah dan syi’ah, para ‘ulama’ telah memperoleh pengalaman dalam mengembangkan ilmu-ilmu tersebut. Ini tidak hanya mempunyai hubungan dengan faktor yang relatif eksternal, yaitu sistem sekolah yang secara fisik jadi terisolir dari oposisi. Bahkan yang lebih penting lagi adalah cara dimana isi dari ilmu-ilmu ortodoks tersebut dikembangkan, hingga dapat diisolir dari kemungkinan tantangan dan oposisi.[1]
Pada masa dinasti Abbasiyah metode pendidikan yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu :
Sistem madrasah, yang secara luas didasarkan pada sponsor dan kontrol negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemunduran dan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebenarnya dari kemunduran ini, walaupun, tentu saja, ia mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Tetapi sebab sebenarnya dari penurunan kualitas ilmu pengetahuan Islam adalah kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang juga kemudian mati. Dari penentangan mereka yang berhasil terhadap kaum mu’tazillah dan syi’ah, para ‘ulama’ telah memperoleh pengalaman dalam mengembangkan ilmu-ilmu tersebut. Ini tidak hanya mempunyai hubungan dengan faktor yang relatif eksternal, yaitu sistem sekolah yang secara fisik jadi terisolir dari oposisi. Bahkan yang lebih penting lagi adalah cara dimana isi dari ilmu-ilmu ortodoks tersebut dikembangkan, hingga dapat diisolir dari kemungkinan tantangan dan oposisi.[1]
Pada masa dinasti Abbasiyah metode pendidikan yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu :
- Metode lisan (dikte, ceramah, qiraah dan diskusi) : Metode dikte adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan dikte ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki. Metode ceramah adalah guru menjelaskan dan murid mendengarkan. Metode qiraah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
- Metode menghafal (ciri umum pendidikan pada masa ini) : Murid-murd harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka.
- Metode tulisan (pengkopian karya ulama) : Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.[2]
Konsep Ibn Jama’ah tentang metode pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan ketimbang dengan metode lain. sebagaimana dikatakan bahwa hafalan sangat penting dalam proses pembelajarannya, sebab ilmu yang didapat bukan dari tulisan di buku melainkan dengan pengulangan secara terus-menerus.
Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan kepada akal untuk mendayagunakan secara maksimal dalam penajaman proses berfikir. Namun, disisi lain hafalan sesungguhnya menantang kemampuan memori akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan pengetahuan yang didapat.
Selain dengan metode pembelajaran ini, Ibn Jama’ah tampak juga menekankan tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong timbulnya kreativitas para siswa. Menurut Ibn Jama’ah bahwa kegiatan belajar tidak hanya digantungkan sepenuhnya pada pendidik selaku orang yang memberikan informasi dan ilmu pengetahuan, melainkan juga pada anak didik. Bagi Ibn Jama’ah peserta didik dapat diposisikan sebagai subyek pendidikan. Untuk itu, perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dapat mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik oleh peserta didik itu sendiri, disamping peranan yang dilakukan oleh orang lain.
Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan kepada akal untuk mendayagunakan secara maksimal dalam penajaman proses berfikir. Namun, disisi lain hafalan sesungguhnya menantang kemampuan memori akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan pengetahuan yang didapat.
Selain dengan metode pembelajaran ini, Ibn Jama’ah tampak juga menekankan tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong timbulnya kreativitas para siswa. Menurut Ibn Jama’ah bahwa kegiatan belajar tidak hanya digantungkan sepenuhnya pada pendidik selaku orang yang memberikan informasi dan ilmu pengetahuan, melainkan juga pada anak didik. Bagi Ibn Jama’ah peserta didik dapat diposisikan sebagai subyek pendidikan. Untuk itu, perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dapat mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik oleh peserta didik itu sendiri, disamping peranan yang dilakukan oleh orang lain.
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Salah satu tokoh-tokoh pendidikan islam dan metode pembelajarannya dalam abad pertengahan adalah sebagai berikut :
- Burhanuddin Az-Zarnuji
Nama lengkapnya adalah Burhanuddin al-Islam Az-Zarnuji. Di kalangan ulama’ belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya. Adapun mengenai kewafatannya, setidaknya ada dua pendapat yang dapat dikemukakan disini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin Az-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/1195 M. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 840 H/1243 M. Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin hidup semasa dengan Rida ad-Din an-Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H.[8][10]
Konsep pendidikan yang dikemukakan Az-Zarnuji secara monumental dituangkan dalam karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum. Kitab ini banyak diakui sebagai suatu karya yang jenial dan monumental serta sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini banyak pula dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah terutama dalam bidang pendidikan.[9][11]
Dalam segi metode pembelajaran yang dimuat Az-Zarnuji dalam kitabnya itu meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik dan kedua metode yang bersifat strategi. Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat dalam belajar, sedangkan metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.[10][12]
Konsep pendidikan yang dikemukakan Az-Zarnuji secara monumental dituangkan dalam karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum. Kitab ini banyak diakui sebagai suatu karya yang jenial dan monumental serta sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini banyak pula dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah terutama dalam bidang pendidikan.[9][11]
Dalam segi metode pembelajaran yang dimuat Az-Zarnuji dalam kitabnya itu meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik dan kedua metode yang bersifat strategi. Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat dalam belajar, sedangkan metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.[10][12]
2. Ibn Jama’ah
Nama lengkapnya adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abdullah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir pada malam sabtu tanggal 4 Rabiul Akhir 639 H/1241 M dan wafat pada pertengahan malam akhir hari senin tanggal 21 Jumadil Ula tahun 733 H/1333 M dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari.[11][13]
Konsep pendidikan yang dikemukakan Ibn Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Didalam buku tersebut Ibn Jama’ah mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan orang-orang yang mencarinya, etika orang-orang yang berilmu termasuk para pendidik, kewajiban guru terhadap peserta didik, mata pelajaran, etika peserta didik, etika dalam menggunakan literatur serta etika tempat tinggal bagi para guru dan murid.
Refren by :
- Hamid, Hamdani. Saebani, Beni Ahmad. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung : Pustaka Setia.
- Tantowi, Ahmad. 2009. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra.
- Nata, Abuddin. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada.
- Syafry, Ulil Amri. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Jakarta : Rajawali.
Tidak ada komentar: