DEFINISI PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

    Pada akhir-akhir ini pendidikan digembar-gemborkan semua kalangan masyarakat. apakah penting pendidikan? atau apakah pendidikan hanya modal untuk melamar / mendapatkan pekerjaan secara layak?. selain itu di sisi lain para atasan pendidikan lagi giat-giatnya menyusun rancangan pendidikan dengan menyesuaikan kurikulum di setiap tingkat sekolah. Terus apa definisi peserta didik dalam pandangan islam?
    Dengan berpedoman pada paradigma “belajar sepanjang masa”, istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya disekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, sepeti Majlis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya. Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam pendidikan islam adalah individu sedang tumbuh dabn berkembang, baik secara fisik, psikologis, akal, dan religius dalam mengurangi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
    Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan “murid” atau طالب . Istilah murid atau طالب ini memiliki kedalaman makna dari pada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan. Namun, kata pepatah : “tiada tepuk sebelah tangan”. Dalam pernyataan tersebut mengisyaratkan adanya active learning (pengetahuan) bagi peserta didik dan active teachig (pengajaran) dalam proses pendidikan agar tercapai hasil secara maksimal.

1. Paradigma peserta didik 
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan :
   Pertama : peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Sehingga peserta didik yang kehilangan dunianya, maka menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.
   Kedua : peserta didik memilik kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Menurut Abraham Maslow, (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial ) dan harga diri. (2) metakebutuhan-kebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya.
   Ketiga : peserta didik memiliki perbedaan antar individu dengan individu yang lain. dalam teori psikologi, (1) seperti semua orang lain, yang karenanya perlu perlakuan yang sama satu dengan yang lainnya. (2) seperti sejumlah orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda anatara anak yang umum (kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat cerdas/bodoh). (3) seperti tidak seorang lain pun, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda anatara individu satu dengan lainnya.
   Keempat : peserta didik dipandng sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai hakikat manusia, peserta didik sebagai mahluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa, dan karsa).
   Kelima : peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalm pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif.
   Keenam : peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia atau periode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik. Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia pada dasarnya dapt dibagi menjadi lima tahapan : (1) tahap asuhan (usia 0-2 tahun) yang lazim disebut fase neonatus dimulai kelahiran sampai kira-kira usia dua tahun. Pada tahap ini individu belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya mampu menerima rangsangan yang besifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. (2) tahap pendidikan jasmani dan pelatihan panca indra (usia 2-12 tahun) yang lazim disebut fase kanak-kanak (مراحل الطفلة) yaitu mulai masa neonatus sampai pada masapolusi (mimpi basah). Pada tahap ini anak mulai memiliki potensi biologis dan psikologis. (3) tahap pembentukan watak dan pendidikan agama (usia 12-20) fase ini lazimnya disebut fase تمييز yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Atau, fase baligh (disebut juga مكلّف) dimana ia telah sampai berkewajiban memikul beban taklif dari Allah SWT. (4) tahap kematangan (usia 20-30 tahun) pada tahap ini anak telah beranjak menjadi dewasa yaitu dewas dalam arti sebenarnya mencakup kedewasaan biologis, sosial, psikologis, dan kedewasaan religius. Pada fase ini mereka sudah mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri. (5) tahap kebijaksanaan (usia 30-meninggal) menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase عزم العمر( lanjut usia) atau شيوخ (tua) pada tahap ini manusia telah menemukan jati dirinya yang hakiki sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain. Sedangkan menurut dengan teori Imam Al-Ghazali yang membagi periodesasi manusia (1) الجنين (embrio dalam kandungan), periode pranatal yang yang diawali dengan pembuahan, peniupan ruh ke jasad pada usia 4 bulan dalam kandungan, sampai pada kelahiran anak. (2) الطفل (anak kecil) fase yang diperbanyak latihan dan pembiasaan pada anak sehingga terbiasa memiliki aktivitas yang baik. (3) التمييز (membedakan yang baik buruk ) anak yang telah tumbuh daya pikirnya sehingga mampu membedakan dan meilih yang benar dan yang salah. (4) العقل (berakal), individu yang telah mampu berpikir penuh, sehingga ia mampu memikul amanah dan beban agama. (5) الأولياء (para kekasih) dan الأنبياء (para nabi) fase dimana manusia telah memiliki kebijaksanaan, sebagaimana kebijaksanaan yang dimilik para wali dan nabi.
     Peserta didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tadi. Akan tetapi dalm proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara keduanya sulit ditentukan karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran, daya aspersepsi, dan keterampilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri.

2. Sifat-sifat dan Kode Etik Peserta Didik
     Kode etik peserta didik pada dasarnya adalah kewajiban dalam dilakasanakannya proses belajar mengajar, baik secara langsung atau pun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fatkhiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:                                         a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli). Dalam Firman Allah SWT:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَاىَ وَممَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ

Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS.Al-An’am:162),.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Al-Dzariyat: 56),
b. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. Adh.Dhuha: 4) :

وَلَلْأَخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُوْلَى

Artinya : “dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”.

Tafsir : Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad SAW. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.
c. Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menyampingkankan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu terhadap teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meinggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzumah).
f. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (Qs. Al-Insqaq: 19) :

لَتَرْكَبُنَّ طَبَقاً عَنْ طَبَقٍ

Artinya : “Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).”

Tafsir : Yang dimaksud dengan tingkat demi tingkat ialah dari setetes air mani sampai dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai dewasa. dari hidup menjadi mati kemudian dibangkitkan kembali.
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan seara mendalam.
h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah yng terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi.
j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahun, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia dan akhirat.
k. Peserta didik harus tunduk padda nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik mengikuti kesenian yang baik.
     Menurut Ibnu Jama’ah yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, etika peserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu: (1) terkait diri sendiri, meliputi membersihkan hati, memperbaiki niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud (tidak materialistik), dan penuh kesederhanaan. (2) terkait dengan pendidik, meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan, dan menghormatinya, senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya. (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu.


مَنْ شَبَّ عَلَى شَيْئٍ شَابَ عَلَيْهِ
                                “Barang siapa yang membiasakan sesuatu (dihari mudanya), maka ia akan terbiasa olehnya (dihari tuanya).”

Tidak ada komentar:

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.