TASAWWUF (SUFI)

Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang menghubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Menyebutkan ada lima istilah :

1. Shafa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Sebab kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama shalat dan puasa.

2. Shaf (baris). Yang dimaksud shaf disini ialah baris pertama dalam shalat di masjid. Shaf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke masjid dan banyak membaca ayat suci Al-Qur’an dan berdzikir sebelum waktu shalat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat  Tuhan.

3. Sophos (bahasa Yunani yang masuk ke dalam filsafat Islam yang berarti hikmat), dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.

          Di antara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai kata asal sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang pertama memakai kata sufi adalah Abu Hasyim AL-Kufi di Irak (w.150 H).

         
Dari segi kebahasaan (linguistic) terdapat sejumlah kata atau istilah yang di hubungkan orang dengan tasawuf. Selain pengertian tasawuf juga dapat dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang bertuhan.maka dari itu, tasawuf atau sufisme adalah salah satu jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al-Qur’an.
                                                                                                                                        
I.     Pembagian Tasawuf Pertama
              Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan terpuji, dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan.

v  Tasawuf Falsafi; Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya.

v  Tasawuf Akhlaqi; Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.

v  Tasawuf Amal; Pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya disebut sebagai tarekat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falssafi, akhlaki maupun amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, dan bukan karena terpaksa.

          Harun Nasution mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Dalam tasawuf masalah ibadah sangat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah yang selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah. Hal itu dalam istilah sufi disebut dengan al-Takhallu bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-Ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.

II.      Pembagian Tasawuf yang Kedua
      1.  Tasawuf Akhlaqi
            Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
  

 
-   Takhalli; merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

-  Tahalli; adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.

-  Tajalli; Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Dalam hal ini, dengan demikian tampaklah beberapa sifat bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit .

III. TUJUAN TASAWUF

              Tujuan tasawuf berbeda-beda antarra ulama yang sau dengan yang lai. Para shufi sunny yakni para shufi yang terkait ketat oleh tadisi (sunnah) Nabi SAW dan shabanya al-Harawi, al-Qusyairi dan al-ghazali membatsi taswuf hanya pada hubungan dekat denga Allah. Sedangkan para shufi-filosof tidak membatasi hubunga antara manusia dengan Allah.

           Untuk apa setelah mereka dekat. Jawaban dari pertanyaan ini juga berbeda-beda. Sebagian untuk meremukan kebenaran atau yang sering disebut ma’rifat dan sebagian untuk menikmati hubungan itu sendiri. Bagi para shufy sunni, tasawuf merupakan alat untuk menemukan kebanaran (haqiqat) sebagaimana diketahui ada tiga jalan untuk menemukan kebenaran, jalan orang awwam dengan cara menerima berita dari pihak lain, jalam para filosof dengan cara berfikir atau pembuktian akal dan jalan cara shufi dengan cara bertasawuf.

          Bagi orang awam, indra merupakan alat yang paling dominan untuk mencari kebenaran. Sedangkan bagi para filosof akal sebagai alat yang terpenting untuk mencari kebenaran.. berbeda degan orag awwam dan filosof, pra shufi mencari kebenaran melalui hati. Tuhan sebagai yang benar( al-haqq) atau kebenaran (al-haqiqah) ditemukan cara membersihkan hati. Menurut para shufi, hati merupakan cermin yang bisa digunakan untu k menyaksikan kebenaran. Jika cermin itu tertutup oleh kotoran tentu tidak bisa digunakan untuk menyaksikan kebenaran.

    

-

Tidak ada komentar:

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.