METODE PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
         Dalam proses pendidikan baik pendidikan Islam maupun yang umum,faktor metode adalah merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan karena ikut menentukan sukses atau tidaknya dari tujuan pendidikan Islam. Hubungan antara metode dan tujuan pendidikan, bisa dikatakan merupakan hubungan sebab akibat artinya, jika metode pendidikan yang digunakan baik dan tepat maka akibatnya tujuan pendidikan yang telah dirumuskannya pun besar kemungkinan dapat tercapai dengan baik.[1]

          Terkait dengan metode pendidikan, Rasulullah SAW sejak awal sudah mencontohkan dan melakukan metode pendidikan yang tepat kepada para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dan tepat dalam menyampaikan ajaran islam. Rasulullah sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang sehingga nilai-nilai islam yang ditransferkan bisa dengan mudah dipahami dan dikuasai oleh para sahabat. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa hadist tentang metode-metode pendidikan yang diterapkan oleh Rasulullah dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, khususnya dalam pendidikan islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana metode pendidikan menurut hadits 1 ?
2. Bagaimana metode pendidikan menurut hadits 2 ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist 1 tentang metode pendidikan
   a. Hadist

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا[2]

Artinya: Muhammad bin Yusuf menceritakan kepda kami dia berkata Sufyan mengabarkan kepadaku dari a’masy dari Abi Wail dari Ibnu Mas’ud dia berkata Rasulullah SAW selalu memilih waktu yang tepat untuk memberikan nasihat, karena beliau takut kami akan merasa bosan. (HR. Bukhori)

b. Syarah hadist
        Secara bahasa kata يَتَخَوَّلْنَا beakna يتعهدنا yaitu memperhatikan dengan macam-macam nasihat. Sedangkan اللسَّا مَةِartinya bosan dan rasa jenuh. Hadis ini menjelasakn bahwa sebaik-baik pemberi nasihat adalah orang yang mencari keadaan mereka sesuai dengan situasi dan kondisi untuk lebih banyak manfaat dan pengaruhnya seperti halnya ulama dalam memberikan nasihat terhadap masalah-masalah dunia dan akhirat mereka. Dalam penyampaian nasihat itu dengan perkataan lembut dan dapat mengharmonisasikan dengan canda diwaktu tertentu serta mentransfer hikmah dengan penuh kegembiraan dengan menggerakkan kasih sayang diantara mereka dan menghilangkan dari kesibukan dunia mereka. Dalam menggairahkan kekuatan dan kecintaan dalam mencari ilmu dan belajar disanalah terdapat keharmonisan nasehat dan ilmu yaitu pengaruh dan faedah yang bermanfaat.

          Ini merupakan cara Nabi Muhammad SAW yang mana beliau memilih waktu-waktu yang sesuai dalam memberikan nasihat dan mengajarnya, beliau menjadikan peristiwa-peristiwa dah hal-hal mereka dengan nasihat yang disampaikan dengan bahasa dan pelajaran yang banyak manfaatnya. Beliau tidak terus-menerus melakukan hal tersebut karena takut mereka menjadi bosan dan jenuh, ketika mereka jenuh maka mereka tidak akan mendengarkan nasihat dan tidak akan menerima ucapannya, Rasulullah ibarat dokter yang memberikan obat dengan dosis yang sesuai penyakitnya. Didalam jiwa manusia terdapat waktu-waktu yang mana jiwa tersebut menyukai ilmu dan mampu mendengarkan nasihat yaitu ketika jiwa dalam ketenangan. Apabila jiwa merasa jenuh maka jiwa tidak akan menerima ilmu melainkan tidak mau mendengarkan. Sehingga kita harus mengikuti Rasul dalam manajemen pemberian nasehat yaitu dengan menyesuaikan keadaan para sahabat dan juga memilih waktu yang tepat. Seorang penasehat itu jangan menasehati semaunya saja, diibaratkan seperti pencari kayu bakar diwaktu malam hari tidak akan menemukan apa yang akan disampaikan terhadap manusia serta tidak tahu siapa yang diberi nasihat. [3]

B. Hadis 2 tentang metode pendidikan
  a. Hadist

حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ يَعْنِي الْيَشْكُرِيَّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ أَبُو

دَاوُد وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِيُّ الصَّيْرَفِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ

عَنْ جَدِّهِ قَالقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ

وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ[4]

Artinya: “Hisyam Al-Yasykuri telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud; Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya".

b. Syarah hadist
           Dalam kitab Aunul Ma’bud syrarah Sunan Abi dawud menjelaskan: “Perintahlah anakmu untuk shalat”, Perintah ini ditujukan untuk anak- anak laki- laki/ perempuan untuk mendirikan shalat, selain memerintahkan untuk shalat orang tua juga harus mengajarkan hal- hal yang berkaitan dengan shalat seperti syarat- syarat shalat dan lain- lain.

         Anak- anak yang diperintahkan untuk shalat adalah anak- anak yang berusia 7 tahun. Untuk mempersiapkan dan membiasakan mengerjakan shalat, sehingga mereka sudah mampu melaksanakan kewajiban shalat ketika sudah baligh. Dan pukulah mereka jika mereka (anak- anak) meninggalkan shalat apabila sudah berumur 10 tahun karena mereka sudah baligh atau mendekati baligh, dan pisahkanlah mereka dari ranjang ( maksudnya pisahkan tempat idur mereka dari orang tua). Menurut Imam Al- Munawi dalam kitab Fathul Qadir Syarah Al- Jami’ as- Shaghir: “pisahkan anak- anak kalian dari ranjang yang mereka tiduri bersama orang tuanya dan saudara apabila sudah berusia 10 tahun, untuk menghindari penyimpangan seks walaupun mereka adalah saudara.”

            Imam At- Thibi: “di kumpulkannya perintah shalat dan memisahkan tempat tidur bagi anak- anak yang sudah baligh sebagai pengajaran atau pendisiplinan bagi mereka dan untuk menjaga perintah Allah, dan pergaulan antara sesama dan agar tidak menimbulkan fitnah dan menjauhi hal- hal yang haram.

Imam Khutabi berkata: “hadits Rasul yang berbunyi:
           Menunjukkan akibat yang terjadi apabila sang anak meninggalkan shalat secara sengaja. Adapun sebagian ulama Syafi’iyah: menjadikan hadits ini sebagai hujjah atas kewajiban membunuh orang- orang yang meninggalkan shalat secara sengaja apabila dia sudah baligh. Jika anak- anak sudah berhak untuk dipukul ketika belum baligh, jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa orang- orang yang sudah baligh itu berhak mendapatkan hukuman yang lebih berat dari pada pukulan yaitu dibunuh apabila meninggalkan shalat dengan sengaja.

          Ada perbedaan pendapat dalam menghukumi orang- orang yang meninggalkan shalat. Imam malik dan Syafi’i berpendapat orang yang meninggalkan shalat itu boleh di bunuh. Pendapat ini sama seperti Imam Hammad bin Yazid dan Waqi’ bin Jarrah. Menurut Imam Abu Hanifah: orang yang meninggalkan shalat tidak wajib di bunuh tapi cukup dipukul dan diasingkan. Jumhur Ulama’ berpendapat: orang yang meninggalkan shalat sampai keluar waktunya tanpa adanya udzur maka dia kafir. Imam Ahmad berkata: tidak akan menjadi kafir orang yang berbuat dosa kecuali orang yang meninggalkan shalat secara sengaja.

Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa:
· Bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab dalam pendidikan anak-anaknya agar menjadi putra putri yang saleh shalehah.
· Sejak berumur 6/ 7 tahun anak sudah harus diajari salat dan menyuruhnya untuk salat
· Apabila anak tidak mau salat setelah berumur 10 tahun, maka anak boleh dipukul, agar anak itu mau patuh menegakkan ibadah salat.
· Setelah berumur 10 tahun, seharusnya mulai dipisah tidur anak laki-laki dengan ibunya, antara ayah dengan anak perempuannya, untuk menghindari pelanggaran seksual, karena anakp ada umur sekian itu sudah mulai perkembangan seksualnya.[5]
            Sedangkan dalam kitab Syarah Riyadhus Salihin dijelaskan bahwa: Sebagian hak- hak anak dari orang tua yang mana orang tersebut harus memerintahkan shalat ketika sampai umur 7 tahun dan orang tersebut memukul mereka ketika meninggalkan shalat dan menyia- nyiakan ketika sampai 10 tahun tapi dengan syarat mereka sudah berakal. Ketika mereka sudah sampai 7 atau 10 tahun tapi tidak berakal (dalam keadaan gila) maka mereka tidak dipikul atas pelanggaran tersebut.
           Yang di maksud dengan memukul adalah yang menghasilkan pendidikantanpa adanya dharurat maka orang tua boleh memukul anaknya dengan pukulan sekali saja dan tidak boleh memukul mereka berulang kali tapi ketika anak tersebut tidak mau menjalankan shalat kecuali dengan dipukul maka orang tua tersebut memukul anaknya boleh lebih dari satu kali. Karena dalam hadits nabi yang di maksud pukulan adalah yang bersifat tidak melukai tetapi mendidik.[6]

              Pola pendidikan anak usia sebelum baligh dalam Hadits Nabi merupakan pola pendidikan yang berupa pendidikan peringatan keras dan hukuman atau sangsi terhadap anak. Oleh Abdullah Nasih Ulwan menjelaskan bahwa seorang pendidik tidak boleh langsung memberi sanksi yang lebih keras selama sanksi yang lebih ringan dapat menyadarkanya. Sebagaimana di maklumi bahwa sanksi pukulan merupakan salah satu bentuk hukuman keras. Nasih Ulwan memberikan syarat-syarat dalam memberikan sanksi pukulan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pendidik tidak boleh memukul sebelum di lakukan berbagai upaya, nasehat dan saran serta peringatan keras.
2. Pendidik hendaknya tidak memukul dalam keadaan marah karena di kawatirkan akan mencederai anak.
3. Tidak memukul bagian –bagian yang peka seperti kepala, wajah, dada, dan perut.
4. Hendaknya sanksi pukulan ini untuk pertama kali tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Bagi anak yang belum baligh pukulan cukup satu kali sampai tiga kali, dan bagi orang dewasa tiga dan kalau perlu samapai sepuluh kali hingga dia jera. sebelum umur umur sepuluh tahun, sebaiknya anak jangan di pukul.
5. Jika pertama kali anak berbuat kesalahan, hendaknya di maafkan, di tolelir di berikan kesempatan untuk memperbaiki diri sehingga dia tidak mengulangi yang kedua kalinya.
6. Jika anak sudah baligh dan dengan sepuluh pukulan belum juga jera, boleh di tambah lagi jumlah pukulanya hingga dia sadar dan berjalan di jalan yang lurus.[7]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Metode pendidikan dan pengajaran adalah suatu cara yang sistematis untuk mengembangkan segala aspek kepribadian manusia yang mencakup pengetahuanya, nilai serta sikapnya, dan ketrampilanya yang bertujuan untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. dalam proses pendidikan itu sendiri mempunyai peran yang sangat penting, karena metode ini merupakan sebuah cara yang digunakan untuk mewujudkan sebuah tujuan pendidikan.

             Setiap metode mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Untuk itu keberhasilan dalam proses belajar mengajar juga tak luput dari ketepatan dalam memilih metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

B. Saran
               Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar dalam penyampaian makalah selanjutnya semakin lebih baik. Semoga makalah ini dapat menambah wacana keilmuan dan memberi manfaaat bagi kita semua baik didunia maupun di akhirat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Falah, Ahmad. 2010.HaditsTarbawi. Kudus: NORAMEDIA ENTERPRISE
Al-khuli, Muhammad Abdul aziz. Adabun Nabawi:Dar Al- Fikr
Muhammad, Abu Bakar. 1997. HadisTarbawi III. Surabaya: KARYA ABDITAMA
Nashih Ulwan, Abdullah. 1992. Pendidikan Anak Menurut Islam, Kaidah-kaidah Dasar, terj. Khalilullah Ahmas Masykur Hakim. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Imam Hafid Musnaf Muttaqin Abu Da`ud Sulaiman ibn Asy`ats Sijtani Azdi, pent. , Sunan Abu Daud, Jilid 1-2, (Beirut, Dar Al-Fikri)
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al- Mughirah al- Bukhari Abu Abdullah, al- Jami’ Shahih al Musnad.
Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi, Sunan Abu Daud, Juz I, (Bierut, Libanon : Dar Al- Kutub Al-ilmiah, 1997)
Abdul Muhsin Al ibad , Syarah abu Dauwud juz 3
Muhammad bin Shalih bin Muhammad al- atsimina ,Syarah Riyadhus Salihin juz 1.

catatan kaki:
[1]Ahmad Falah, HaditsTarbawi, (Kudus: NORAMEDIA ENTERPRISE, 2010) hal. 59
[2] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al- Mughirah al- Bukhari Abu Abdullah, al- Jami’ Shahih al Musnad, hlm. 121.
[3] Ibid,hlm. 252-254
[4] Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi, Sunan Abu Daud, Juz I, (Bierut, Libanon : Dar Al- Kutub Al-ilmiah, 1997), hlm. 173.
[5]Abu Bakar Muhammad, HaditsTarbawi III, (Surabaya: KARYA ABDITAMA, 1997)Cet.Ihal. 68-69
[6] Muhammad bin Shalih bin Muhammad al- atsimina ,Syarah Riyadhus Salihin juz 1, hlm. 357.
[7] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Kaidah-kaidah Dasar, terj. Khalilullah Ahmas Masykur Hakim, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1992 ), hlm. 168






Tidak ada komentar:

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.