MENARA PEMERSATU BUDAYA - ISLAM


     Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena di mass media mungkin Anda sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia. Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Dan beberapa pendekatan dalam studi islam dalam hal filosofis dan historis, pendekatan antropologis, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan fenomenologis.
     Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku.
    Pendekatan Sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak studi Islam dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari sosiologi. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya  perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
    Dari defenisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu itu suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
    Melalui pendekatan sosiologis, Islam dapat dipahami dengan mudah karena ia diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.
    Bahwa bisa kita ketahui di Kudus terdapat salah satu makam waliyullah yaitu Sunan Kudus. Di area makam tersebut terdapat menara yang berdiri kokoh dan menjulang tinggi dengan mempunyai makna perpaduan budaya yang sangat kental. Kota Kudus sebagai nama satu-satunya kota yang memakai nama Bahasa Arab. Itu menjadi bukti bahwa sungguh teramat kental akulturasi budayanya di Kota Kudus. Karena dengan alasan kembali pada zaman dulu bahwa islam berasal dari Arab dan sebagai sejarah Islam masa lalu. Secara terminologi, para sejarawan beragam dalam mendefinisikan sejarah. Ada yang sempit dan ada yang luas. Yang mendefinisikan sejarah secara sempit contohnya adalah Edward Freeman. Sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, Edward Freeman mendefinisikan sejarah dengan politik masa lampau. Adapun yang mendefinisikan sejarah secara luas, contohnya adalah Ernst Bernheim, yang menyatakan, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, sejarah adalah imu tentang perkembangan manusia dalam upaya-upaya mereka sebagai makhluk sosial.  Disisi lain Kudus juga kaya akan tradisi budaya nusantara yang amat kental. Coba kita teliti pada bangunan kokoh yang berdiri setinggi 17 M yang ada dikomplek Pemakaman Sunan Kudus yaitu pada Menaranya. Menara tersebut menunjukkan bahwa terjadinya dua kebudayaan antara budaya Islam dan Hindhu, Budha. Selain itu terdapat penggabungan corak arsitektur candi jogo di Singhasari dan Menara Kulkkul di Bali. Hal itu membuktikan bahwa Sunan Kudus mengajarkan indahnya bertoleransi antar umat beragama, padahal dulu diarea tersebut adalah komplek Umat Hindhu, Budha atau Tionghoa.
    Sebagai sebuah ilmu, sejarah membahas berbagai peristiwa dengan memerhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.  Dan tentunya pendekatan sejarah dalam studi Islam ini dilakukan melalui berbagai tahapan yang harus dilalui.
     Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah tahapan akumulasi data. Dalam tahapan ini, sumber sejarah merupakan salah satu yang menentukan kualitas pendekatan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan dalam hal sumber sejarah ini adalah akurasi, dan otentisitasnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
     Adapun jenis sumber sejarah itu sendiri antara lain :
  1.  Sumber tertulis, seperti prasasti, arsip, segala dokumen, kitab-kitab, serat,  babad, hikayat, buku, majalah, dan sebagainya. Semuanya dapat dikumpulkan faktanya melalui telaah teks atau library research.
  2. Sumber visual, dan audio visual, yaitu foto, film, video, kaset, laser disk, CD ROM, dan sebagainya. Sumber semacam ini ditela’ah melalui pengamatan.
  3. Benda-benda sejarah yang dapat memberikan dan menjadi bukti sejarah.
  4. Sumber lisan, yaitu penuturan lisan dari pelaku sejarah dan atau penyaksi adanya peristiwa sejarah. Pengumpulan data terhadap sumber tersebut dapat dilakukan dengan metode wawancara.


    Sumber-sumber di atas, dalam proses pengumpulannya perlu dipertimbangkan apakah ia termasuk sumber primer, yaitu sumber langsung asli sebagai jejak-jejak sejarah, ataukah ia termasuk sumber sekunder, ialah sumber tidak langsung yang memberikan informasi adanya peristiwa sejarah.
   Sumber sejarah tertulis dapat dicari di banyak tempat, terutama pusat arsip dan perpustakaan-perpustakaan. Kesulitan pencarian sumber biasanya terjadi karena permasalahan sejarah yang diteliti merupakan peristiwa yang sudah terlalu lama, misalnya dalam sejarah Islam sumber-sumber tertulis masa Nabi hingga abad pertengahan sudah sangat langka. Adapun sumber lisan, seyogyanya adalah manusia pelaku/penyaksi sejarah, keberadaannya perlu dicari dan berpacu pada usianya. Penggunaan sumber lisan ini akan lebih kredibel bagi penelitian sejarah kontemporer.
    Untuk mengurangi kesulitan di dalam menghadapi berbagai sumber sejarah, dan dalam rangka menghemat waktu serta ketepatan sumber, maka diperlukan seleksi sumber sejarah berdasarkan relevansinya terhadap penulisan yang akan dikerjakan. Bagi sumber-sumber yang relevan (benar-benar mendukung dan berhubungan) dengan penulisan sejarah agama diambil, sedangkan sumber yang tidak relevan lebih baik diabaikan. Sumber-sumber yang benar-benar memiliki nilai relevan itu, kemudian dikaji ulang secara teliti dengan menggunakan metode kritik yang berlaku dalam metode sejarah.
    Tahapan yang kedua adalah pemilihan data. Pemilihan data ini dilakukan dengan cara menyeleksi sumber sejarah melalui kritik sejarah. Kritik sejarah ini dilakukan terhadap dua hal, yaitu kritik terhadap sisi eksternal sumber dan kritik terhadap sisi internal sumber.
     Kritik eksternal, yaitu kritik terhadap sisi fisik sumber. Apakah bahan yang dipakai itu asli, apakah tulisan tintanya juga asli dan sebagainya. Intinya di sini mempertanyakan keaslian (otentisitas) sumber sejarah. Kritik internal, yaitu kritik terhadap isi sumber. Apakah isi dari pernyataan sumber itu dapat dipercaya? Caranya dengan membandingkan beberapa sumber yang sama. Apabila isi dari sumber itu sama benar, maka sumber itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya.
    Tahapan yang ketiga adalah tahapan interpretasi data. Tahapan ini merupakan proses pendekatan sejarah yang tidak terpisahkan dari langkah berikutnya, yaitu penulisan sejarah. Yang dimaksud interpretasi dalam hal ini adalah proses analisis terhadap fakta-fakta sejarah, atau bahkan proses penyusunan fakta-fakta sejarah itu sendiri. Seperti dikemukakan di depan, bahwa fakta sejarah haruslah objektif, tetapi tidaklah berarti peneliti tidak ada peluang untuk menerangkan fakta itu atas dukungan teori yang dimilikinya. Oleh karena itu proses interpretasi sejarah juga dimungkinkan masuk unsur-unsur subjektif peneliti, terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang dikembangkannya.
    Dalam hal ini corak Islam di Nusantara itu tidak menghapus tradisi Nusantara dahulu. Namun, meneruskan tradisi zaman dahulu yang identik dengan Hindhu, Budha dan kepercayaan Nenek Moyang pada zaman dahulu dengan menmbahkan hal-hal bernuansa Islam. Contoh (semisal) : biasanya Menara atau Candi di Hindhu, Budha menghadap ke arah Gunung (ke arah Utara atau Selatan) tetapi dalam corak Islam diubah ke arah (menghadap) Qiblat dengan fungsi sebagai pengumuman-pengumuman penting hari-hari Islam.  Sampai saat inipun masih dijadikan sebagai tempat memukul untuk penanda waktu shalat telah tiba. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hasil dari penulisan sejarah disebut sebagai historiografi. Dan jika sejarah yang ditulis adalah sejarah Islam, maka disebut historiografi Islam. Dalam sejarah, historiografi Islam secara umum dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan dan periode modern. 
    Pada periode klasik, Dalam bukunya Historiografi Islam, Badri Yatim mengikuti pembagian Husein Nashar yang historiografi Islam Awal menjadi tiga aliran, yaitu aliran Madinah, aliran Iraq dan aliran Yaman. Pada aliran Madinah, penulisan sejarah bertolak dari gaya penulisan ahli hadits, lalu kemudian mulai berkembang penelitian khusus tentang kisah peperangan Rasul (al-Maraghi). Orang pertama yang menyusun al-Maraghi dan kemudian disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkajian al-Maraghi, ialah Aban Ibnu Usman Ibn Affan (w.105 H/723 M) dan yang paling terkenal sebagai penulis al-Maraghi adalah Muhammad Ibn Muslim al-Zuhri (w.124 H/742 M), dari penulisan al-Maraghi kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan penulisan Sirah Nabawiyah (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW). Pada aliran Iraq, pengungkapan kisah al-ayyam di masa sebelum Islam, kemudian karena panatisme politik kekabilahan yang diakibatkan oleh adanya persaingan antara kabilah untuk mencapai kekuasaan, disini dikembangkan model penulisan silsilah. Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Iraq adalah pembukuan tradisi lisan. Ini pertama kali di lakukan oleh Ubaidillah Ibn Abi Rafi’ dengan menulis buku yang berisikan nama para sahabat yang bersama Amir al-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) ikut dalam perang Jamal, Siffin dan Nahrawan oleh karena itu, dia dipandang sebagai sejarawan pertama dalam aliran Iraq ini.
    Pada periode ini pendekatan sejarah dalam studi agama secara umum tidak dilakukan lagi oleh umat Islam. Hal itu disebabkan karena stagnasi ilmu pengetahuan Islam yang ditandai dengan minimnya karya ilmiah baru di berbagai bidang, termasuk sejarah.  Sementara itu, di negera-negara Eropa dan Amerika yang non-muslim, masa pertengahan dalam periode sejarah Islam ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuannya, suatu hal yang menjadikan studi agama di kalangan mereka berkembang pesat pada abad ke-19 dan 20 M. Perhatian ini ditandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Introduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amerika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Keadaan inilah yang membuat para ilmuwan Barat ini mampu mengembangkan pendekatan mereka dalam studi agama ke pendekatan sejarah, seperti yang diwujudkan dalam karya-karya mereka di bidang sejarah pada periode modern.
   Namun hal ini bukan berarti tidak ada seorang ilmuwan muslim pun yang menghasilkan karya ilmiah baru pada periode ini. Bukti yang paling nyata adanya historiografi Islam pada masa ini adalah karya fenomenal Ibn Khaldun yang berjudul Kitabul’Ibar Wa Diwanul Mubtadai Walkhabar Fi Ayyamil’arab Wal’ajami Walbarbar Waman ‘Asharahum Min Dzawis Sulthanil Akbar.
   Yang sangat disayangkan terkait dengan pendekatan sejarah dalam studi Islam pada periode ini adalah bahwa hal itu berhenti pada sosok Ibn Khaldun tanpa ada lagi ilmuwan berikutnya yang mengikuti jejaknya sampai memasuki periode modern. Ironisnya lagi, di dunia Islam buku al-Muqaddimah ini sendiri baru diterbitkan di Kairo pada tahun 1855.
   Sejak runtuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah pada 1258 M., yang menandai kemunduran peradaban Islam hingga periode modern, bahkan sekarang, kepedulian umat Islam masih sangat rendah terhadap sejarah. Disiplin ilmu sejarah bagi umat Islam merupakan ilmu yang tertinggal dibanding ilmu yang lain, seperti ilmu kalam, fiqih dan tasawuf. Setelah Al-Muqaddimah, karya Ibn Khaldun, karya ilmiah tentang sejarah di dunia Islam yang menjadi referensi utama umat Islam hingga kini belum ada yang menandinginya, padahal dalam Islam, manusia memiliki peran sentral dalam sejarah. Muhammad Iqbal dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, mengatakan bahwa manusialah yang memiliki kekuatan penggerak sejarah yang berupa kesadaran yang berakar dalam sifat dan fitrahnya. 
    Pada periode modern, di akhir abad ke-18 awal abad ke-19, muncul seorang sejarawan yang disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali Arab Islam yang bernama Abdurrahman al-Jabarti (w.124 H/1825 M) dengan menggunakan dan mengembangkan corak penulisan sejarah melalui metode hawliyat ditambah dengan metode Maudu’iyat (tematik). Baru pada abad 20 para sejarawan Islam terutama setelah adanya kontak budaya dan ilmu pengetahuan antara Timur dengan Barat mulai mengembangkan historiografi Islam dengan metode kajian terhadap sejarah secara menyeluruh, total atau global, tidak hanya satu aspek sosial saja dengan mencontoh metode dan pendekatan yang berkembang di dunia Barat.
    Menara sendiri dibuat dari susunan batu bata yang hanya ditumpuk-tumpuk tanpa menggunakan semen. Selain, itu terdapat lukisan-lukisan corak Islam berupa piring-piring yang bermotifkan majid, orang menuntun onta, dan perahu dengan makna bahwa Islam dahulu itu masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata “Arab al-hadharah al-Islamiyyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Idonesia dengan kebudayaan Islam. Kebudayaan dalam bahasa Arab adalah ats-tsaqafah. Di Indonesia, sebagaiman juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang menyinonimkan dua kata kebudayaan (Arab, ats-tsaqafah; Inggris, culture) dan peradaban (Arab, al-hadharah; Inggris, civilization). Dalam perkembanngan ilmu antopologi sekarang, keduaa istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat, sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban.
    Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplek.   Dan diMenara tersebut juga terdapat dua prasasti aksara Arab dan aksara Jawa. Walaupun Menara yang berdiri kokoh di area Pemakaman Komplek Sunan Kudus tersebut sudah berdiri dari zaman Waliyullah, tapi sampai saat ini Menara tidak hilang dari pesona akan banyaknya sejarah. Menara tetap sebagai monumen bukti sebagai kejayaan dan keindahan Agama Islam dalam menyebarkannya dan sebagai bukti bahwa Islam adalah Agama Rahmatan Lil’alamin. Dan sebagai identitas yang tidak lepas dari Kota Kudus walaupun sekarang terdapat Gerbang Kota Kudus yang dielu-elukan monumen termegah se-Asia Tenggara dengan nilai pembangunan mencapai 1,4 Milyar. Akan tetapi Menara tetap menjadi dara tarik terbesar dari para kalangan wisatawan maupun turis Asing. Karena bukan hanya sebagai budaya atau monumen orang Islam tapi sebagai Corak Akulturasi tradisi dan budaya Nusantara. Dari hal itu Kudus membuktikan bahwa Kota Kudus menjadi laboratorium dan perpustakaan Kota multikultural.
          DAFTAR PUSTAKA
  • Azyumardi Azra, Penelitian Non Normatif Tentang Islam: Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah Pada Faklulltas Adab, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disipin Ilmu Nuansa dan Pusjarlit, Cet. Pertama, 1998.
  • Drs. Badr Yatim, MA, Historiografi Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. Pertama, 1997.
  • Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Kitab Bahuan, New Delhi, India, 1981.
  • Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987.
  • Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2000
  • Yayasan Masjid, Menara, & Makam Sunan Kudus (YM3SK), Menara Menjaga Tradisi Nusantara, Kudus : Arjuna, 2015.

  

Tidak ada komentar:

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.